too far gone.
- Vania Larasati
- Nov 14, 2024
- 2 min read
Pagi itu, 5 November 2024,
"... as there is no tidy band-aid to grief. It is something you must walk through in your own way. You can get all the pros help in the world, but at the end of the day, it is you, on your own, that has to walk through the valley of the shadow of death."
Seorang sahabat mengirimkannya padaku, tidak ada respon terbaik yang ku berikan selain mengatakan bahwa jatuh sudah air mataku.
Jika boleh ku ceritakan, sejak kuliah aku mengerti dan sadar utuh bahwa setiap insan di dunia ini sejatinya berjalan sendiri dan ya, berakhir sendiri menghadap Yang Maha Agung.
Aku paham betul manusia akan menjaga makanannya sendiri saat sekitarnya mengais sisa, akan menadah hujan sementara lainnya menganga ke arah langit, berharap Tuhan meneteskan beberapa rezeki ke mulut mereka. Kita semua terlahir untuk bertahan hidup. Semula hanya urusan perut, seiring tuanya dunia, kompleks pula urusan penghuninya. Yang ku maknai, setiap hamba harus tangguh dan bisa berlindung, terutama dari sikap hamba Tuhan lainnya.
25 tahun aku hadir di bumi, tak berhenti aku kehilangan; disengaja atau tidak. Sedekah itu kehilangan, memaafkan itu kehilangan, marah itu kehilangan, berpuasa itu kehilangan, pergi meninggalkan rumah itu kehilangan, diam itu kehilangan. Aku bisa perlahan ikhlas atas hilangnya materi dan keseganan, hartaku bukan di sana.
"Silakan ambil apa yang kiranya bisa mengganjal perut kalian, memudahkan pekerjaan kalian, memadamkan api kalian, tapi jangan kesayanganku, jangan waktuku."
Teman-teman tau aku hanya ingin hidup tenang dan cukup untuk keluargaku. Sejujurnya yang membuatku tenang adalah Bapak Ibuku--kesayanganku; kecintaanku. Pikiran bahwa aku akan pulang dan mendekap tubuh mereka yang tua selalu membuatku berani, tidak takut dibenci, meski aku salah sekalipun. Karena silakan, segala bentuk ketidaksukaan dilemparkan padaku. Setidaknya aku tau ada dua pasang tangan yang akan mendekapku. Ada dua pasang mata berbinar nan sangat teduh yang lembut menatapku. Ada belahan jiwa tulus yang memaafkanku. Ada yang pasang badan dengan segala luka dipunggungnya. Ada hati yang percaya, saat fitnah dan kebenaran bercampur menyusun aku. Ada dua bibir dan nurani yang berucap doa untuk keselamatanku, lahir batin.
'Salma,' ruh Bapak Ibuku berdoa, diselipkannya di antara nama dan keselarasan hati mereka. "Ambil 'Salma'ku, kalian adalah 'Salma'ku. Aku butuh pangkuanmu, kesayanganku. Aku butuh segala perasaanmu, dalam bentuk terbaik dan yang tak bisa ku mengerti."
Aku tidak ingin terlahir kuat, juga tak ingin terlahir cacat. Meski begitu, kesayanganku--Bapak Ibuku menjadikan keduanya ada padaku. Ironi yang mampu mengambil simpati orang.
Lanjutan dari kiriman teman...
"... death. You'll find you have far more inner strength than you think you have, just take one day at a time. No matter how deep your grief is right now, you can come out the other side, a better person for having gone through the rough."
Sekarang, kesayanganku berpulang, waktuku tak ku harap panjang. Hartaku di langit, mengambang. Aku tidak berharap bisa menyeberangi jembatan apapun di hadapanku, aku tidak berharap bisa melewati terowongan apapun di perjalananku. Sudah tidak ada apa-apa di depanku. Aku tidak punya apa-apa selain kewarasan. Hanya Maha Tau yang bisa menghakimiku. Semoga Sang Pemurah, Allah mengampuniku.

Cr: Status WhatsApp Mama
Comments