Dari yang tersisa untuk membuat makna.
- Vania Larasati
- Jun 2, 2024
- 4 min read
Sebagai individu yang sebagian hidupnya ‘terbentuk’ di lingkungan akademis, seringkali aku kecewa terhadap temuan riset mengenai fenomena humanistik. Berbeda dengan teman-teman eksak yang begitu yakin akan penyelesaian formula dan angka, kami di humaniora terkadang masih mengambang menganut aliran ‘ini’/’itu’ untuk menyelesaikan bahkan melihat suatu masalah.

Sedang aku hadapi, masalah yang berlarut dan mengendap dalam cangkir kepasrahaan. Mencari ‘kenapa?’ di banyak hal buruk dalam hidup membuat aku cemas dan powerless. Aku bukan orang serius yang suka menghabiskan waktu berpikir soal esensi kehidupan, tujuan penciptaan, makna hidup, dan seputarnya. Sampai beberapa minggu terakhir, dibuka dengan belum terkabulnya keinginan sampai aku pasrah dan berdoa ‘Tuhan, tunjukkanlah sisi baiknya, sisi indahnya,’ lalu berpuncak pada satu kejadian spesifik yang melibatkan mama. Emosi yang aku rasakan? Marah, entah pada siapa, tapi jelas aku marah.
Aku berdoa, merenung, berpikir “kenapa harus mama? Kenapa adik-adikku harus melewati ini? Tidak bisakah sedikit kekuatan dipinjamkan sebentar kepada mama? Inikah ganjaran dosaku? Apa sih maksudnya? Maknanya apa?” Semenjak pertanyaan ini, lahirlah aku yang lebih skeptis, rasional, dan realistis terhadap kehidupan. Aku menyimpulkan sementara bahwa ini cobaan untuk mama, peringatan/hukuman untukku. Namun kesimpulan ini belum bisa sepenuhnya diterima nalarku. Aku mencari jawaban lebih rasional dan logis, entah itu nanti mengatasnamakan agama/spiritual, mitos, atau aspek abstrak lainnya. Sampailah pada pencarian daring mengenai artikel ilmiah makna hidup, berjabatlah aku dengan Paul Wong, cendekiawan yang mengenalkan dunia dengan Meaning Therapy.
Meaning Therapy: singkatnya adalah pendekatan melalui keberadaan (eksis, asli, otentik) hal positif dan integratif dalam konseling dan psikoterapi. Tujuan terapeutiknya menyasar pada konstruksi makna pribadi melalui asimilasi berbagai aliran psikoterapi. Yang menjadi meaning therapy menarik buatku adalah ide dibaliknya, gagasan dasarnya akan penggunaan kapasitas ‘unik’ manusia untuk menemukan (discover) dan menciptakan (create) makna serta nilai dari pengalaman hidup yang pahit. Penggunaan kata discover dan create perlu diperhatikan di sini, discover memerlukan proses eksplorasi yang berujung pada penemuan ‘previously unknown’. Sama halnya dengan ‘create’ di mana individu diminta untuk membawa sesuatu menjadi ‘ada’, ‘mengada-adakan’, melibatkan eksplorasi bahan untuk meramu ‘sesuatu’, tidak sekedar membuat dari komposisi yang sudah diketahui. Arti harfiahnya sejalan dengan ide utama meaning therapy, yaitu Logotherapy.
Logotherapy pertama kali dicanangkan oleh Viktor Frankl di mana prosesnya terapeutiknya didasari oleh keinginan untuk mendapatkan makna–the will to meaning. Kegagalan individu dalam mendapatkan makna inilah yang menjadikan adanya depresi, frustasi, cemas, dan hal menyedihkan lainnya. Untuk menemukan makna, kita perlu melakukan analisis eksistensial–spiritual, kebebasan, dan tanggung jawab pada diri kita. Ketiga intisari analisis eksistensial itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Dalam logotherapy, ‘manusia dihadirkan atas dasar kebebasan dan tanggung jawabnya untuk menghasilkan yang terbaik dalam dirinya dan dunia, dengan memahami dan menyadari makna momen dalam setiap situasi.’ Sehingga yang ditekankan adalah fleksibilitas dan keterbukaan potensi makna yang akan muncul secara berbeda (namun objektif tergantung situasi dan individu) pada setiap momen. Seperti turunannya–Meaning Therapy, pada logotherapy penting bagi individu untuk mengalami ‘rasa sakit’ untuk akhirnya bisa menemukan makna hidup.
Nah, ini yang paling aku sukai dari gagasan Bapak Frankl, beliau bilang ada tiga kunci untuk mendapatkan makna hidup–creative pursuits (1), the experience of love (2), and through an attitudinal value (3). Paragraf sebelumnya banyak menyinggung nomor (3). Untuk nomor (1), intinya adalah makna itu dicari, bisa melalui hal-hal kecil maupun kontradiktif, sepertiku yang suka menanyakan pertanyaan ‘remeh’ kepada orang yang ku temui, yang biasanya tengah sibuk/sulit “mbak ngurusin antrian panjang gini udah makan? jangan sampai kita yang puasa, tapi mbak yang pingsan”, “mas rambutnya baru ya? Beli dimana kok bagus?” Membuat orang lain merasa diperhatikan, cukup menyenangkan. Dari poin nomor (1) disimpulkan bahwa mencari peredam dari lingkungan yang menekan itu penting. Nomor (3) sepertinya cukup literal, tentang bagaimana kita mengambil sikap atas kejadian pain in the ass. Jawabannya jelas, simply move on; life goes on; what doesn’t kill you make you stronger; it’s you against your suffering. Nomor (2), ini yang membuatku berada di jurang hidup dan mati. The experience of love… I mean… it’s a definite act of logotherapy! Bukan hanya seorang individu menerima pasangannya apa adanya, tapi juga melihat potensi serta membantu pasangannya berproses dalam aktualisasi potensi itu. Perlu digarisbawahi, love ini berlaku umum, tidak terbatas pada hubungan romantis.
Kembali lagi pada pencarianku akan makna hidup dengan tulisan ilmiah sebagai referensi. Melalui analisis eksistensial, aku merasakan betul spiritualitasku cukup kuat untuk meyakinkan bahwa ‘apa yang aku lakukan tidak berhenti di dunia.’ Ini menjadi dasarku dalam mengambil keputusan dan tindakan, serta menaruh ‘semua ada ganjarannya, lakukan apa yang baik’ sebagai niatku. Eksistensiku di dunia bukan suatu hal spesial, ada triliunan manusia lain merasakan bernyawa. Perbedaanku dengan manusia lainnya adalah apa yang aku lalui, punya, dan kenal, dari situlah aku mengusahakan makna. Kemudian melalui logotherapy, it’s my family & friends. It comes and goes–the people, but the inevitable pain that arises, will always be the space for me to grow, to heal, with any limitation life has given me, I try with everything left in me to make you guys feel enough, and then I’ll be okay (I guess).
Referensi
Bushkin, H., Niekerk, R. v., & Stroud, L. (2021). Searching for meaning in chaos: Viktor frankl’s story. Europe's Journal of Psychology, 17(3), 233–242. doi: 10.5964/ejop.5439.
Frankl, V. (2014). The will to meaning: Foundations and applications of logotherapy. New York: Penguin Plume.
Wong, P. (2010). Meaning therapy: An integrative and positive existential psychotherapy. J Contemp Psychotherapy, 40, 85–93. doi: 10.1007/s10879-009-9132-6.
Comments