drowning tides.
- Vania Larasati
- Nov 14, 2024
- 1 min read
Di matamu aku bergerak, terombang ambing bersama gugusan cerah lainnya. Tetap pikiranku tertuju pada jelmaan gelap di perjalananku. Kelegaman yang tersusun atas kepahitan, kehilangan, kecurigaan, kekhawatiran, keindahan, dan kefakiran dunia. Tidak semestinya ku miliki semua, namun kamu tau aku hanya menghargai cinta–yang baik ungkapannya. Bukanlah aku haus akan rasa baik seluruh manusia, hanya milikmu dan yang ku anggap keluarga.
“Kamu yang paling mengetahui di antara seluruh kawan–bahwa habis untukku ruang dalam pikiranku. Serta kamu yang paling memahami di antara sekian kasih–bahwa tak ada sisa ketulusan untukku dalam serambi dan bilik jantungku. Sedang ibu dan bapakku yang paling memaknai–bahwa kelahiranku pasti bersambut cinta dan kasih terlembut, dijanjikannya bahkan dari hati manapun yang paling kukuh.”
Melalui hal di atas sayangku, aku selalu utuh. Dari segala prahara yang tak tertahankan sakitnya, aku selalu sembuh. Seluruhnya kembali baik sebab kesabaran dan ketabahan ruh ibu bapakku menjadikanku luluh.
Kembali kupandangi kamu–angin yang menyisir kulitmu paham soal kehangatan yang nyaman itu–yang dengan kerendahan hatimu membalut kekalutanku.
Apa yang digariskan Tuhan, kamu indahkan lagi dengan garis bibirmu. Serta ialah saksi akan perbincangan lugu kita–perihal impian membawa ibu ke Praha dan mengikuti bapak ke Paris. Apa yang digariskan Tuhan, tak diindahkan lagi dengan garis kerut ibu-bapakku. Serta merekalah muasal seluruh cinta yang kamu jumpai dalam aku.
Comments